Rabu, 26 Maret 2014



Kecapi Suling Khas Kebudayaan Sunda


Kecapi memang telah familiar bagi masyarakat Indonesia. Alat musik tradisional yang dimainkan dengan cara dipetik ini memang menghasilkan alunan nada yang harmoni dan indah. Namun tidak banyak yang mengetahui tentang Kecapi atau Kacapi Suling khas daerah Cianjur meskipun seni musik ini merupakan perangkat waditra sunda yang terdapat hampir di setiap daerah di tanah Sunda.

Kecapi Suling pada dasarnya terdiri dari kecapi indung atau yang lebih dikenal dengan kecapi parahu karena bentuknya yang mirip sebuah perahu. Kecapi suling biasanya disajikan secara instrumental, namun terkadang juga digunakan untuk mengiringi juru sekar dalam melantunkan lagu secara rampak sekar. Lagu-lagu yang disajikan biasanya sinom degung, kaleon, talutur dengan laras salendro, pelog atau sorog.

Layaknya kecapi pada umumnya, kecapi suling juga terbuat dari kayu dan kawat tembaga. Alat musik tradisional ini terdiri dari beberapa bagian seperti Papalayu (bagian atas), Pureut di bagian depat (bagian untuk mengatur nada atau menyetem), serta inang  yang berbentuk kerucut dan ditempatkan pada papalayu.

Sementara untuk suling terbuat dari bambu tamiang yang trediri atas sumber (lubang bagian atas), suliwer  (tali yang dililitkan pada bagian atas suling serta lubang nada yakni lubang-lubang yang menghasilkan nada ketika ditiup.

Sebagai alat musik tradisional, kecapi suling kerap dugunakan untuk mengiringi acara-acara tradisonal khas Sunda seperti Ngaras, Siraman Pengantin, Siraman Sunatan, Siraman Tingkeban dan lain-lain. lagu-lagu yang digunakan diambil dari beberapa tembang Sunda seperti Candrawulan, Jemplang Karang, Kapati-pati atau Kaleon.

Pada dasarnya kecapi suling merupakan bagian dari mamaos. Mamaos sendiri adalah seni budaya khas Cianjur yang menggambarkan kehalusan budi dan rasa sehingga menjadi rekat tali persaudaraan dan kekeluargaan dalam kehidupan bermasyarakat.

Mamaos sendiri terbentuk pada masa pemerintahan Bupati Cianjur tahun 1834-1864 bernama R.A.A Kusumaningrat. Beliau seringkali membuat lagu di sebuah bangunan bernama Pancaniti. Oleh karnea itu masyarakat mengenalnya dengan sebutan Kanjeng Pancaniti.

Mamaos sendiri biasa dilakukan oleh para kaum pria yang kemudian pada perempatan abad ke-20, kaum wanita pun turut serta dalam kebudayaan tersebut. Bahan mamaos sendiri berasal dari beragam seni suara Sunda seperti pantun, beluk, degng dan beberapa tembang macapat Jawa.

Kesenian mamaos mulai berkembang pada masa pemerintahan Bupati R.A.A Prawirediredja II tahun 1864-1910. Sejak itu pula kesenian kecapi suling juga berkembang mengingat kecapi suling digunakan sebagai pengiring kesenian mamaos.

Kecapi suling adalah salah satu seni budaya Indonesia yang patut untuk dihargai dengan dijaga kelestariannya. Keunikan serta harmoni yang dihasilkan merupakan kekayaan budaya yang tidak ternilai harganya. Yang jelas kecapi suling bukan sekedar kekayaan budaya yang menjadi warisan nenek moyang. Salah satu kesenian sunda ini juga menjadi salah satu identitas bangsa yang patut dipertahankan.