Jumat, 12 Juni 2015

ETIKA PROFESI GURU BERKUALITAS

Bab 1. Pendahuluan
Sejak kini sampai kedepan tantangan profesi keguruan semakin meningkat. Dalam buku Mengangkat Citra dan Martabat Guru, (Dedi Supriadi, 1999:73-74) mengeluarkan suatu tantangan yang harus siap dihadapi guru dan pada saat yang sama harus dicarikan solusinya oleh pihak yang terkait (organisasi kependidikan). Salah satunya tentang masalah ekologi profesi bagi guru. Pekerjaan guru (pendidik) yang mulia dan seharusnya menyenangkan, sering kali malah menjadi sumber ketegangan karena iklim dan kondisi kerja yang terlalu banyak dengan beban tugas-tugas birokrasi, beban sosial-ekonomi, dan tantangan untuk kemajuan karir yang terkait dengan jaminan hak kesejahrteraan guru. Dalam hal beban birokrasi, guru harus berhadapan dengan pekerjaan rutin administrasi yang bukan merupakan tugas profesional. Beban sosial terkait dengan tuntunan masyarakat yang masih memandang bahwa guru merupakan orang yang serba tahu dan serba bisa. Tidak sedikit dari orang tua yang mempunyai kemampuan yang melebihi seorang guru agar anak – anak mereka menjadi pandai seperti yang diinginkan. Selain itu, kondisi yang terjadi dilapangan sangat mungkin bagi guru untuk menghadapi pengaruh kemajuan pengetahuan, informasi, dan teknologi dalam kependidikan yang mengharuskan dirinya mejadi lebih profesional dan siap bersaing dengan peserta didik lainnya. Beban yang berat itu semakin lengkap untuk guru yang hidup diperkotaan dan juga harus berjuang meningkatkan kebutuhan ekonomi keluarga yang memang masih jauh untuk dipenuhi oleh gaji mereka. Kondisi ini akan berpengaruh kuat terhadap keadaan mental seorang guru.
Profesi seorang guru saat ini dan kedepannya sangatlah berat. Bukan hanya harus memiliki sejumlah kompetensi akademis, merancang, mengelola, dan mengevaluasi pembelajaran dengan metode saat ini, serta menguasai alat peraga serta media pembelajaran, namun juga harus memiliki kepribadian yang kuat dan tegar. Kepribadian merupakan unsur yang penting dalam kinerja seorang guru profesional yang akhir – akhir ini mulai dibicarakan kembali oleh para pakar pendidik yang telah lama tak dibicarakan karena tersisihkan oleh gencarnya pembahasan teknis metodologi mengajar dengan gagasan yang diangkat dari Behavioristik: teori belajar, conditioning, hukum pengaruh, dan Kognivistik. (Dedi Supriadi, 1999:10; Mohamad Surya, 2003:43; H.A.R Tilaar, 1999:295). Salah satu aspek yang berkaitan dengan kematangan dan ketegaran kepribadian adalah kecerdasan emosi (Emotional Intelegence) atau Emotional Quotient (EQ). Kecerdasan ini berkaitan dengan kemampuan seorang guru dalam mengelola emosi pada diri sendiri dan orang lain, menghadapi kesulitan dan kesuksesan hidup, kasih sayang, cinta yang tulus, dan tanggung jawab. Berhubung dengan tugas berat guru di masa depan, maka jelas tidak bijaksana bila lembaga pendidik menghasilkan calon guru tidak dengan pembinaan yang menjadikannya sebagai calon guru yang memiliki kematangan diri dengan kecerdasan emosi yang optimal. Pembinaan ini sangat erat kaitannya dengan tugas bimbingan dan konseling. Maka dari itu peran bimbingan dan konseling yang selama ini disiapkan dan diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan di pendidikan harus secara organik dan resmi difungsikan di lembaga pendidik.
Profesionalisme guru memiliki posisi utama dan strategis. Karena posisi tersebut baik dari kepentingan nasional maupun tugas profesional guru semuanya menuntut agar pendidikan dilaksanakan secara profesional. Pembahasan guru profesional terkait dengan beberapa istilah, yaitu profesi, profesional itu sendiri, profesionalismee, profesionalisasi, dan profesionalitas.
Profesi adalah pengabdian pada suatu pekerjaan atau jabatan (Piet A Sahertian, 1994:26), dimana pekerjaan atau jabatan tersebut menuntut keahlian, tanggung jawab, dan kesetiaan terhadap profesi. Suatu profesi secara teori tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang. Profesional menunjuk pada orang atau penampilan seseorang yang sesuai dengan tuntutan yang seharusnya. Profesionalisasi menggambarkan proses menjadikan seseorang sebagaiprofesional melalui pendidikan. Profesionalismee menunjuk pad derajat penampilan seseorang sebagai profesional atau penampilan suatu pekerjaan sebagai profesi yang menyangkut sikap komitmen, dan kode etik, profesionalisme bisa tinggi atau rendah. Sedangkan hal yang berkaitan dengan keprofesionalan disebut profesionalitas (Dedi Supriadi, 1999:94-95).


Bab 2. Pembahasan
Profesi memiliki beberapa ciri pokok. Ciri – ciri tersebut adalah: Pertama, perkerjaan tersebut mempunyai fungsi dan signifikasi sosial karena diperlukan pengabdian kepada masyarakat. Kedua, profesi menuntut keterampilan tertentu yang diperoleh lewat pendidikan dan latihan yang intensif serta dapat dipertanggungjawabkan. Ketiga,profesi didukung oleh suatu disiplin ilmu (a systematic body of knowledge). Keempat, ada kode etik yang menjadi pedoman perilaku beserta sanksi yang tegas kepada pelanggar kode etik. Kelima, konsekuensi layanan yang diberikan terhadap masyarakat, maka anggota profesi secara perorangan atau kelompok memperoleh imbalan finansial atau material.
Guru professional merupakan guru yang memiliki tanggung jawab, keahlian, dan kesejawatan yang didukung oleh etika profesi yang kuat. Maka dari itu harus memiliki kualifikasi kompetensi yang memadai kompetensi intelektual, sosial, spiritual, pribadi dan moral (Mohamad Surya, 2003:28). Sedangkan H.A.R Tilaar (1999:205) menggagaskan profil guru professional abad 21 sebagai berikut.
1. Memiliki kepribadian matang dan berkembang (mature and developing personality) sebgaimana dirumuskan Maister ‘professionalsm is predominantly an attitude, not a set of competencies only. Ini berarti seorang guru profesional adalah pribadi unggul yang terpilih.
2.     Menguasai pengetahuan dan teknologi yang kuat. Dengan dua hal ini seorang guru profesional akan menginspirasi anak didiknya dengan pengetahuan dan teknologi.
3.  Menguasai keterampilan untuk mengembangkan minat dan potensi peserta didik. Karena itu seorang guru profesional harus menguasai keterampilan metodologis pembelajaran siswa. Karakter ini membedakan profesi guru dengan profesi lainnya. Jika karakteristik ini tidak sungguh – sungguh dikuasai seorang guru, maka siapa saja dapat menjadi guru. Akibat lebih lanjut dari ini adalah akan kehilangan dari profesi guru ‘bargaining position’.
4. Profesi guru adalah profesi mendidik. Sama dengan ilmu mendidik yang selalu berkembang, maka profesi guru profesional adalah yang terus mengembangkan kompetensi dirinya.
Sejalan dengan gagsan H.A.R Tilaar diatas, Dedi Supriadi (1999:98) mengutip jurnal Education Leadership edisi Maret 1993 mengenai 5 hal yang harus diraih guru agar menjadi profesional. Kelima hal tersebut adalah.
1. Guru mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya.
2. Guru menguasai secara mendalam bahan ajar yan akan diajarkan serta mengajarkan kepada siswa.
3. Guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui evaluasi.
4. Guru ampu berfikir sistematis tentang apa yang akan dilakukannya, dan belajar dari pengalaman.
5. Guru merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya.
Untuk memastikan kesuksesan kinerja pendidik sebagai guru profesional dan merupakan jabatan strategis dalam membangun masyarakat, Moh Surya (2003:290-292) menekankan perlunya seorang guru memiliki kepribadian efektif. Kepribadian efektif seorang guru adalah kepribadian berkualitas yang mampu berinteraksi dengan lingkungan pendidikan yang baik agar kebutuhan dan tujuan pendidikan dapat tercapai secara efektif.
Kepribadian efektif memiliki kompetensi yang bersumber pada komponen penguasaan materi pelajaran, kualitas profesional, penguasaan proses, kemampuan penyesuaian diri, serta kualitas kepribadiannya. Menurut William D. Hitt (1993) potensi manusiawi itu antara lain daya nalar yang bertumpu pada empat jenjang yaitu: (1) Coping, kemampuan melakukan tindakan dalam menghadapi dunia sehari – hari dengan baik; (2) Knowing, kemampuan memahami kenyataan dan kebenaran dari kehidupan sehari – hari; (3) Believing, keyakinan yang melandasi berbagai tindakan; (4) Being, perwujudan diri yang otensik dan bermakna.
Jika kita cermati Nampak bahwa unsur – unsurnya berkaitan erat dengan faktor – faktor kompetensi dan potensi psikologis seseorang. Salah satu potensi psikologis manusia yang saat ini mendapat kajian intensif karena diyakini sebagai salah satu penentu efektif tidaknya kepribadian seseorang dalam berinteraksi dan mengatasi persoalan hidup adalah kecerdasan emosi (EQ, Emotional Quotient).


a.     Kecerdasan Emosi
Kecerdasan emosional pertama kali dicetuskan pada pada tahun 1990 oleh psikolog Peter Salovey dari Havard University dan Jon Mayer dari University of New Hampshire. Kecerdasan ini berhubungan dengan kualitas psikologi tertentu oleh Salovey yang dikelompokkan ke dalam lima krakter kemampuan:
1.     Mengenali emosi diri
2.     Mengelola emosi
3.     Memotivasi diri sendiri
4.     Mengenali emosi orang lain
5.     Membina hubungan

b.     Kecerdasan Emosi Eksekutif
Kecerdasan Emosional Eksekutif (EQ-Executive) secara singkat diartikan sebagai kemampuan seseorang dalam mengelola emosi dalam menghadapi dan memberikan tindakan antisipasi maupun solusi terhadap problematika yang dihadapi dalam menjalankan profesi di sebuah intuisi. Berdasarkan gagasan Robert K Cooper & Ayman Sawaf (2001), EQ-Executive yang akan didasarkan kepada empat dalam penelitian ini didasarkan kepada empat pilar utama:
1.     Kesadaran emosional literasi
2.     Kebugaran emosi
3.     Kedalaman emosi
4.     Al-kimia emosi
Indikator yang menunjukkan seberapa jauh karakter dari masing – masing pilar di atas terdapat pada diri seseorang dapat dengan instrument EQ MAP. Instrument ini merupakan hasil yang secara statisktik dan teruji secara statistik dan teruji secara baku. Instrument ini mengungkap 21 skala profil kecerdasan eksekutif:
1.     Peristiwa dalam hidup
2.     Tekanan pekerjaan
3.     Tekana masalh pribadi
4.     Kesadaran diri sendiri
5.     Ekspresi emosi
6.     Kesadaran emosi terhadap orang lain
7.     Intensionalitas
8.     Kreativitas
9.     Ketangguhan
10. Hubungan interpersonal
11. Ketidakpuasan konstruktif
12. Belas kasihan
13. Cara pandang
14. Intuisi
15. Radius kepercayaan
16. Daya pribadi
17. Integritas
18. Kesehatan umum
19. Kualitas hidup
20. Relation quotient
21. Kinerja optimal
Dalam EQ-Map, 21 skala profil EQ-Eksekutif di atas selanjutnya dibagi ke dalam lima kategori yaitu: Situasi saat ini, Keterampilan emosi, Kecakapan Emosi, Nilai – nilai EQ dan Keyakinan, dan Hasil – hasil EQ.
Istilah profesional pada guru profesional tidak merujuk pada Undang – undang Sistem Pendidikan Nasional yang seringklai menimbulkan kerancuan dalam pembahasan di lapangan yang menyatakan “pendidikan tinggi terdiri dari pendidikan akademik dan pendidikan profesional”. Yang dimaksud dengan pendidikan akademik  merupakan pendidikan yang sebagian porsinya ditujukan untuk penguasaan dan pengembangan ilmu dengan bobot keterampilan yang lebih sedikit. Di lain ihak, pendidikan profesional merupakan pendidikan yang bobot pembekalan keterampilan lebih banyak dari penguasaan teori atau konsep karena peserta didik disiapkan untuk mengisi pekerjaan yagn ada dalam masyarakat. Dalam istilah lain disebut juga pendidikan dengan non – gelar. Pendidikan profesional diselenggarakan oleh akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut, dan universitas. Oleh karenanya, guru profesional atau pendidik profesional dimaksudkan sebagai lulusan pendidikan yang memiliki keterampilan khusus meliputi penguasaan keilmuan, sosial, etik/moral, serta nilai kemanusiaan jika karakteristik guru profesional sebagaimana pada halaman terdahulu, disamping berkaitan dengan hal yang berisfat akademis dan keterampilan akan ditemukan beberapa pernyataan yang lebih dalam seperti tanggung jawab, memiliki kepribadian yang matang dan berkembang, bermoral, spiritual, komitmen terhadap siswa, berfikir reflektif dan kolektif, serta memiliki kepribadian yang efektif. Kepribadian guru profesional yagn demikian jelas sangat diperlukan oleh guru sebagai modal utama dalam menghadapi tantangan yang semakin kompleks. Oleh karenanya program pendidikan calon guru harus diarahkan pada upaya mempersiapkan guru yang baik secara profesional serta memiliki kematangan pribadi dengan kecerdasan emosi yang mencukupi dan kuat. Berdasarkan hal itu, untuk menghasilkan pencapaian calon guru profesional yang mampu mengantisipasi masalah yang kompleks, maka harus dirancang sedemikian rupa suatu layanan yang dapat berfungsi sebgagai pengembangan kecerdasan emosional para mahasiswa calon guru untuk mengatasi berbagai problem untuk pencapaian kesuksesan karir atau prestasi belajar yang dikenal EQ-Executive.
Gagasan program pematangan kepribadian dan kecerdasan emosi para mahasiswa calon guru bukanlah suatu yang mengada – ada melainkan juga berdasarkan pada hasil analisis berbagai literatur. Berbgai informasi menunjukkan bahwa salah satu alasan umum pemicu perilaku menyimpang dari seorang guru dalam memberikan reaksi terhadap lingkungan, misalkan pesimis dan berfikiran negative yang pada umumnya bukan karena rendahnya kualitas skill dan kemampuan akademis, melainkan karena mereka tidak mempunyai pribadi yang matang serta kecerdasan emosi yang kurang.
Goleman (1998) memperkuat bahwa perilaku menyimpang yang disebabkan ole rendahnya kecerdasan emosional mereka berkaitan dengan ketidakmatangan kondisi psikologis yang bersangkutan dalam hal memotivasi diri dan menghadapi frustasi, mengendalikan dorongan hati dan menjaga agar beban stress tidak melumpuhkan kemampuan berfikir, empati dan berdoa. Dengan kata lain, perilaku menyimpang baik dari kaum remaja ataupun profesional diakrenakan rendahnya kecerdasan emosional mereka.
Robert K Cooper & Ayman Sawaf (2001) pada bagian bukunya (Executive EQ) menegaskan bahwa jika pada abad 20 kesuksesan seseorang diasumsikan bergantung pada IQ, maka dari bukti yang banyak di abad 21, dapat ditegaskan kesuksesan seseorang dalam menghadapi tugas kehidupan ditentukan oleh kecerdasan emosional (EQ), maka pkiran dari Robert K Cooper & Ayman Sawaf sangat layak untuk dipertimbangkan oleh para pengelola calon guru untuk menuntut kompetensi dan kredibilitas dari seorang guru.
Landasan empirik lainnya bagi hal ini adalah hasil penelitian serial yang tidak kurang dari dua puluh tahun oleh John Gottman (1998), yang dilakukannnya pada 119 keluarga, dan menemukan bukti kuat bahwa mereka mampu memiliki EQ yang relatif baik.
Persoalan selanjutnya adalah bagaimana cara pembinaan calon guru yang profesional dan memiliki kecerdasan emosi. Dengan mengadaptasi gagasan dari H.A.R Tilaar (1993:368-378), Dedi Supriadi (1999) berikut adalah hal yang perlu dipertimbangkan untuk menjawab persoalan tersebut.
Pertama, perlu dipelihara dan ditingkatkan ekologi kampus yang kondusif bagi penyelenggara perkuliahan yang demokratis, menjunjunh tinggi hak asasi manusia, kemudahan akses informasi, mendorong perkembangan ilmu dan teknologi, serta menanamkan kegandrungan terhadap orientasi kualitas kehidupan kampus.
Kedua, memelihara dan meningkatkan kondisi kampus yang memberdayakan mahasiswa. Ada empat modal dasar yang berperan dalam proses pemberdayaan mahasiswa di dalam kampus yaitu dosen, mahasiswa, tenaga administratif, dan sarana pendukung.
Ketiga, adanya usaha intensif terorganisir dan terus menerus untnuk terjadinya kolaborasi antar para calon guru sehingga terjadi berbagi pengalaman dalam hal cara menguasai dan implementasi prinsip pedagogi secara umum maupun secara khusus.
Keempat, unsur paling asasi dalam mendidik adalah kasih sayang, maka sejak mereka memasuki perkuliahan, biasakan memasuki pembelajaran dengan pedagogi kasih sayang.
Kelima, kehidupan kampus dan interaksi mahasiswa didalamnya harus dirancang sedemikian rupa sehingga menjadi miniature kehidupan realistik tempat mereka mengelola, mengktualisasi dan mematangkan perkembangan emosinya secara terencana dan periodik melakukannya studi serta memantau profil pengembangan emosi mahasiswa calon guru.


Bab 3. Kesimpulan
Guru dimasa sekarang hingga kedepannya akan selalu berhadapan dengan tantangan perkembangan zaman yang kian berat dan semakin kompleks. Untuk itu para guru harus memiliki dua kompetensi yaitu karakter guru profesional dan modal kecerdasan emosi yang memadai serta tangguh. Kedua kompetensi tersebut haris dibekali sejak awal oleh intuisi penghasil calon guru melalui: (1) penciptaan ekologi kamapus yang beba, religious, ilmiah, dan orientasi pada kualitas; (2) penciptaan kampus yang meberdayakan mahasiswa; (3) memfasilitasi terjadinya kolaborasi antar para calon guru sehingga terjadi baerbagai pengalaman diantara mereka; (4) melibatkan mahasiswa sejak awal dan secara intens ke dalam pedagogi kasih sayang dalam pembelajajan; (5) menciptakan lingkungan kampus setra melakukan studi dan layanan bagi upaya pengenalan dan pengembangan profil kecerdasan emosi mahasiswa calon guru.
                                     


Daftar Pustaka

Dedi Supriadi. 1999. Mengangkat Citra dan Martabat Guru. Yogyakarta: Adicitra Karya nusa
Robert K Cooper& Ayman Sawaf. 2001. Executive EQ: kecerdasan emosional dalam kepemimpinan dan organisasi.
Goleman, D. 1998. Emotional Intelligence: Kecerdasan Emotional, Mengapa EI lebih penting dari IQ.
H.A.R Tilaar. 1999. Bebearpa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional: Dalam Perspektif Abad 21. Magelang: Penerbit Tera Indonesia
Mohammad Surya. 2003. Percikap Perjuangan Guru. Semarang: CV Aneka
Moh.Zen. 1999. Faktor – faktor Determinatif Perilaku Menyimpang di Kalangan Remaja. Jurnal Pendidikan: Mimbar Pendidikan. No. 2.Tahun XVIII. 1999. Halaman 52-60. Bandung: University Press IKIP Bandung