Bab 1. Pendahuluan
Sejak
kini sampai kedepan tantangan profesi keguruan semakin meningkat. Dalam buku
Mengangkat Citra dan Martabat Guru, (Dedi Supriadi, 1999:73-74) mengeluarkan
suatu tantangan yang harus siap dihadapi guru dan pada saat yang sama harus
dicarikan solusinya oleh pihak yang terkait (organisasi kependidikan). Salah
satunya tentang masalah ekologi profesi bagi guru. Pekerjaan guru
(pendidik) yang mulia dan seharusnya menyenangkan, sering kali malah menjadi
sumber ketegangan karena iklim dan kondisi kerja yang terlalu banyak dengan
beban tugas-tugas birokrasi, beban sosial-ekonomi, dan tantangan untuk kemajuan
karir yang terkait dengan jaminan hak kesejahrteraan guru. Dalam hal beban
birokrasi, guru harus berhadapan dengan pekerjaan rutin administrasi yang bukan
merupakan tugas profesional. Beban sosial terkait dengan tuntunan masyarakat
yang masih memandang bahwa guru merupakan orang yang serba tahu dan serba bisa.
Tidak sedikit dari orang tua yang mempunyai kemampuan yang melebihi seorang
guru agar anak – anak mereka menjadi pandai seperti yang diinginkan. Selain
itu, kondisi yang terjadi dilapangan sangat mungkin bagi guru untuk menghadapi
pengaruh kemajuan pengetahuan, informasi, dan teknologi dalam kependidikan yang
mengharuskan dirinya mejadi lebih profesional dan siap bersaing dengan peserta
didik lainnya. Beban yang berat itu semakin lengkap untuk guru yang hidup
diperkotaan dan juga harus berjuang meningkatkan kebutuhan ekonomi keluarga yang
memang masih jauh untuk dipenuhi oleh gaji mereka. Kondisi ini akan berpengaruh
kuat terhadap keadaan mental seorang guru.
Profesi
seorang guru saat ini dan kedepannya sangatlah berat. Bukan hanya harus memiliki
sejumlah kompetensi akademis, merancang, mengelola, dan mengevaluasi
pembelajaran dengan metode saat ini, serta menguasai alat peraga serta media
pembelajaran, namun juga harus memiliki kepribadian yang kuat dan tegar.
Kepribadian merupakan unsur yang penting dalam kinerja seorang guru profesional
yang akhir – akhir ini mulai dibicarakan kembali oleh para pakar pendidik yang
telah lama tak dibicarakan karena tersisihkan oleh gencarnya pembahasan teknis
metodologi mengajar dengan gagasan yang diangkat dari Behavioristik: teori
belajar, conditioning, hukum pengaruh, dan Kognivistik. (Dedi Supriadi,
1999:10; Mohamad Surya, 2003:43; H.A.R Tilaar, 1999:295). Salah satu aspek yang
berkaitan dengan kematangan dan ketegaran kepribadian adalah kecerdasan emosi (Emotional
Intelegence) atau Emotional Quotient (EQ). Kecerdasan ini berkaitan
dengan kemampuan seorang guru dalam mengelola emosi pada diri sendiri dan orang
lain, menghadapi kesulitan dan kesuksesan hidup, kasih sayang, cinta yang
tulus, dan tanggung jawab. Berhubung dengan tugas berat guru di masa depan, maka
jelas tidak bijaksana bila lembaga pendidik menghasilkan calon guru tidak
dengan pembinaan yang menjadikannya sebagai calon guru yang memiliki kematangan
diri dengan kecerdasan emosi yang optimal. Pembinaan ini sangat erat kaitannya
dengan tugas bimbingan dan konseling. Maka dari itu peran bimbingan dan
konseling yang selama ini disiapkan dan diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan
di pendidikan harus secara organik dan resmi difungsikan di lembaga pendidik.
Profesionalisme
guru memiliki posisi utama dan strategis. Karena posisi tersebut baik dari
kepentingan nasional maupun tugas profesional guru semuanya menuntut agar
pendidikan dilaksanakan secara profesional. Pembahasan guru profesional terkait
dengan beberapa istilah, yaitu profesi, profesional itu sendiri, profesionalismee,
profesionalisasi, dan profesionalitas.
Profesi adalah pengabdian pada suatu pekerjaan atau
jabatan (Piet A Sahertian, 1994:26), dimana pekerjaan atau jabatan tersebut
menuntut keahlian, tanggung jawab, dan kesetiaan terhadap profesi. Suatu
profesi secara teori tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang. Profesional
menunjuk pada orang atau penampilan seseorang yang sesuai dengan tuntutan yang
seharusnya. Profesionalisasi menggambarkan proses menjadikan seseorang sebagaiprofesional
melalui pendidikan. Profesionalismee menunjuk pad derajat penampilan seseorang
sebagai profesional atau penampilan suatu pekerjaan sebagai profesi yang
menyangkut sikap komitmen, dan kode etik, profesionalisme bisa tinggi atau
rendah. Sedangkan hal yang berkaitan dengan keprofesionalan disebut
profesionalitas (Dedi Supriadi, 1999:94-95).
Bab
2. Pembahasan
Profesi memiliki beberapa ciri pokok. Ciri – ciri
tersebut adalah: Pertama,
perkerjaan tersebut mempunyai fungsi dan signifikasi sosial karena diperlukan
pengabdian kepada masyarakat. Kedua, profesi menuntut keterampilan
tertentu yang diperoleh lewat pendidikan dan latihan yang intensif serta dapat
dipertanggungjawabkan. Ketiga,profesi didukung oleh suatu disiplin ilmu
(a systematic body of knowledge). Keempat, ada kode etik yang
menjadi pedoman perilaku beserta sanksi yang tegas kepada pelanggar kode etik. Kelima,
konsekuensi layanan yang diberikan terhadap masyarakat, maka anggota profesi
secara perorangan atau kelompok memperoleh imbalan finansial atau material.
Guru professional merupakan guru yang memiliki tanggung
jawab, keahlian, dan kesejawatan yang didukung oleh etika profesi yang kuat.
Maka dari itu harus memiliki kualifikasi kompetensi yang memadai kompetensi
intelektual, sosial, spiritual, pribadi dan moral (Mohamad Surya, 2003:28).
Sedangkan H.A.R Tilaar (1999:205) menggagaskan profil guru professional abad 21
sebagai berikut.
1. Memiliki kepribadian matang dan berkembang (mature and
developing personality) sebgaimana dirumuskan Maister ‘professionalsm is
predominantly an attitude, not a set of competencies only. Ini berarti
seorang guru profesional adalah pribadi unggul yang terpilih.
2.
Menguasai pengetahuan dan teknologi yang kuat. Dengan dua
hal ini seorang guru profesional akan menginspirasi anak didiknya dengan
pengetahuan dan teknologi.
3. Menguasai keterampilan untuk mengembangkan minat dan
potensi peserta didik. Karena itu seorang guru profesional harus menguasai
keterampilan metodologis pembelajaran siswa. Karakter ini membedakan profesi
guru dengan profesi lainnya. Jika karakteristik ini tidak sungguh – sungguh
dikuasai seorang guru, maka siapa saja dapat menjadi guru. Akibat lebih lanjut
dari ini adalah akan kehilangan dari profesi guru ‘bargaining position’.
4. Profesi guru adalah profesi mendidik. Sama dengan ilmu
mendidik yang selalu berkembang, maka profesi guru profesional adalah yang
terus mengembangkan kompetensi dirinya.
Sejalan dengan gagsan H.A.R Tilaar diatas, Dedi Supriadi
(1999:98) mengutip jurnal Education Leadership edisi Maret 1993 mengenai
5 hal yang harus diraih guru agar menjadi profesional. Kelima hal tersebut
adalah.
1. Guru mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya.
2. Guru menguasai secara mendalam bahan ajar yan akan
diajarkan serta mengajarkan kepada siswa.
3. Guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa
melalui evaluasi.
4. Guru ampu berfikir sistematis tentang apa yang akan
dilakukannya, dan belajar dari pengalaman.
5. Guru merupakan bagian dari masyarakat
belajar dalam lingkungan profesinya.
Untuk memastikan kesuksesan kinerja pendidik sebagai guru
profesional dan merupakan jabatan strategis dalam membangun masyarakat, Moh
Surya (2003:290-292) menekankan perlunya seorang guru memiliki kepribadian
efektif. Kepribadian efektif seorang guru adalah kepribadian berkualitas yang
mampu berinteraksi dengan lingkungan pendidikan yang baik agar kebutuhan dan
tujuan pendidikan dapat tercapai secara efektif.
Kepribadian efektif memiliki kompetensi yang bersumber
pada komponen penguasaan materi pelajaran, kualitas profesional, penguasaan
proses, kemampuan penyesuaian diri, serta kualitas kepribadiannya. Menurut
William D. Hitt (1993) potensi manusiawi itu antara lain daya nalar yang bertumpu
pada empat jenjang yaitu: (1) Coping, kemampuan melakukan tindakan dalam
menghadapi dunia sehari – hari dengan baik; (2) Knowing, kemampuan
memahami kenyataan dan kebenaran dari kehidupan sehari – hari; (3) Believing,
keyakinan yang melandasi berbagai tindakan; (4) Being, perwujudan diri
yang otensik dan bermakna.
Jika kita cermati Nampak bahwa unsur – unsurnya berkaitan
erat dengan faktor – faktor kompetensi dan potensi psikologis seseorang. Salah
satu potensi psikologis manusia yang saat ini mendapat kajian intensif karena
diyakini sebagai salah satu penentu efektif tidaknya kepribadian seseorang
dalam berinteraksi dan mengatasi persoalan hidup adalah kecerdasan emosi (EQ, Emotional
Quotient).
a.
Kecerdasan Emosi
Kecerdasan emosional pertama kali dicetuskan pada pada
tahun 1990 oleh psikolog Peter Salovey dari Havard University dan Jon Mayer
dari University of New Hampshire. Kecerdasan ini berhubungan dengan kualitas
psikologi tertentu oleh Salovey yang dikelompokkan ke dalam lima krakter
kemampuan:
1.
Mengenali emosi diri
2.
Mengelola emosi
3.
Memotivasi diri sendiri
4.
Mengenali emosi orang lain
5.
Membina hubungan
b.
Kecerdasan Emosi Eksekutif
Kecerdasan Emosional Eksekutif (EQ-Executive) secara
singkat diartikan sebagai kemampuan seseorang dalam mengelola emosi dalam
menghadapi dan memberikan tindakan antisipasi maupun solusi terhadap
problematika yang dihadapi dalam menjalankan profesi di sebuah intuisi.
Berdasarkan gagasan Robert K Cooper & Ayman Sawaf (2001), EQ-Executive
yang akan didasarkan kepada empat dalam penelitian ini didasarkan kepada empat
pilar utama:
1.
Kesadaran emosional literasi
2.
Kebugaran emosi
3.
Kedalaman emosi
4.
Al-kimia emosi
Indikator yang menunjukkan seberapa jauh karakter dari
masing – masing pilar di atas terdapat pada diri seseorang dapat dengan
instrument EQ MAP. Instrument ini merupakan hasil yang secara statisktik dan
teruji secara statistik dan teruji secara baku. Instrument ini mengungkap 21
skala profil kecerdasan eksekutif:
1.
Peristiwa dalam hidup
2.
Tekanan pekerjaan
3.
Tekana masalh pribadi
4.
Kesadaran diri sendiri
5.
Ekspresi emosi
6.
Kesadaran emosi terhadap orang lain
7.
Intensionalitas
8.
Kreativitas
9.
Ketangguhan
10. Hubungan interpersonal
11. Ketidakpuasan konstruktif
12. Belas kasihan
13. Cara pandang
14. Intuisi
15. Radius kepercayaan
16. Daya pribadi
17. Integritas
18. Kesehatan umum
19. Kualitas hidup
20. Relation quotient
21. Kinerja optimal
Dalam EQ-Map, 21 skala profil EQ-Eksekutif di atas
selanjutnya dibagi ke dalam lima kategori yaitu: Situasi saat ini,
Keterampilan emosi, Kecakapan Emosi, Nilai – nilai EQ dan Keyakinan, dan
Hasil – hasil EQ.
Istilah profesional pada guru profesional tidak merujuk
pada Undang – undang Sistem Pendidikan Nasional yang seringklai menimbulkan
kerancuan dalam pembahasan di lapangan yang menyatakan “pendidikan tinggi
terdiri dari pendidikan akademik dan pendidikan profesional”. Yang dimaksud
dengan pendidikan akademik merupakan
pendidikan yang sebagian porsinya ditujukan untuk penguasaan dan pengembangan
ilmu dengan bobot keterampilan yang lebih sedikit. Di lain ihak, pendidikan profesional
merupakan pendidikan yang bobot pembekalan keterampilan lebih banyak dari
penguasaan teori atau konsep karena peserta didik disiapkan untuk mengisi
pekerjaan yagn ada dalam masyarakat. Dalam istilah lain disebut juga pendidikan
dengan non – gelar. Pendidikan profesional diselenggarakan oleh akademi, politeknik,
sekolah tinggi, institut, dan universitas. Oleh karenanya, guru profesional
atau pendidik profesional dimaksudkan sebagai lulusan pendidikan yang memiliki
keterampilan khusus meliputi penguasaan keilmuan, sosial, etik/moral, serta
nilai kemanusiaan jika karakteristik guru profesional sebagaimana pada halaman
terdahulu, disamping berkaitan dengan hal yang berisfat akademis dan
keterampilan akan ditemukan beberapa pernyataan yang lebih dalam seperti
tanggung jawab, memiliki kepribadian yang matang dan berkembang, bermoral,
spiritual, komitmen terhadap siswa, berfikir reflektif dan kolektif, serta
memiliki kepribadian yang efektif. Kepribadian guru profesional yagn demikian
jelas sangat diperlukan oleh guru sebagai modal utama dalam menghadapi
tantangan yang semakin kompleks. Oleh karenanya program pendidikan calon guru
harus diarahkan pada upaya mempersiapkan guru yang baik secara profesional
serta memiliki kematangan pribadi dengan kecerdasan emosi yang mencukupi dan
kuat. Berdasarkan hal itu, untuk menghasilkan pencapaian calon guru profesional
yang mampu mengantisipasi masalah yang kompleks, maka harus dirancang
sedemikian rupa suatu layanan yang dapat berfungsi sebgagai pengembangan kecerdasan
emosional para mahasiswa calon guru untuk mengatasi berbagai problem untuk
pencapaian kesuksesan karir atau prestasi belajar yang dikenal EQ-Executive.
Gagasan program pematangan kepribadian dan kecerdasan
emosi para mahasiswa calon guru bukanlah suatu yang mengada – ada melainkan
juga berdasarkan pada hasil analisis berbagai literatur. Berbgai informasi
menunjukkan bahwa salah satu alasan umum pemicu perilaku menyimpang dari
seorang guru dalam memberikan reaksi terhadap lingkungan, misalkan pesimis dan
berfikiran negative yang pada umumnya bukan karena rendahnya kualitas skill dan
kemampuan akademis, melainkan karena mereka tidak mempunyai pribadi yang matang
serta kecerdasan emosi yang kurang.
Goleman (1998) memperkuat bahwa perilaku menyimpang yang
disebabkan ole rendahnya kecerdasan emosional mereka berkaitan dengan
ketidakmatangan kondisi psikologis yang bersangkutan dalam hal memotivasi diri
dan menghadapi frustasi, mengendalikan dorongan hati dan menjaga agar beban
stress tidak melumpuhkan kemampuan berfikir, empati dan berdoa. Dengan kata
lain, perilaku menyimpang baik dari kaum remaja ataupun profesional diakrenakan
rendahnya kecerdasan emosional mereka.
Robert K Cooper & Ayman Sawaf (2001) pada bagian
bukunya (Executive EQ) menegaskan bahwa jika pada abad 20 kesuksesan
seseorang diasumsikan bergantung pada IQ, maka dari bukti yang banyak di abad
21, dapat ditegaskan kesuksesan seseorang dalam menghadapi tugas kehidupan
ditentukan oleh kecerdasan emosional (EQ), maka pkiran dari Robert K Cooper
& Ayman Sawaf sangat layak untuk dipertimbangkan oleh para pengelola calon
guru untuk menuntut kompetensi dan kredibilitas dari seorang guru.
Landasan empirik lainnya bagi hal ini adalah hasil
penelitian serial yang tidak kurang dari dua puluh tahun oleh John Gottman
(1998), yang dilakukannnya pada 119 keluarga, dan menemukan bukti kuat bahwa
mereka mampu memiliki EQ yang relatif baik.
Persoalan selanjutnya adalah bagaimana cara pembinaan
calon guru yang profesional dan memiliki kecerdasan emosi. Dengan mengadaptasi
gagasan dari H.A.R Tilaar (1993:368-378), Dedi Supriadi (1999) berikut adalah
hal yang perlu dipertimbangkan untuk menjawab persoalan tersebut.
Pertama, perlu dipelihara dan ditingkatkan ekologi kampus
yang kondusif bagi penyelenggara perkuliahan yang demokratis, menjunjunh tinggi
hak asasi manusia, kemudahan akses informasi, mendorong perkembangan ilmu dan
teknologi, serta menanamkan kegandrungan terhadap orientasi kualitas kehidupan
kampus.
Kedua, memelihara dan meningkatkan kondisi kampus yang
memberdayakan mahasiswa. Ada empat modal dasar yang
berperan dalam proses pemberdayaan mahasiswa di dalam kampus yaitu dosen, mahasiswa,
tenaga administratif, dan sarana pendukung.
Ketiga, adanya usaha intensif terorganisir dan terus
menerus untnuk terjadinya kolaborasi antar para calon guru sehingga terjadi
berbagi pengalaman dalam hal cara menguasai dan implementasi prinsip pedagogi
secara umum maupun secara khusus.
Keempat, unsur paling asasi dalam mendidik adalah kasih
sayang, maka sejak mereka memasuki perkuliahan, biasakan memasuki pembelajaran
dengan pedagogi kasih sayang.
Kelima, kehidupan kampus dan interaksi mahasiswa
didalamnya harus dirancang sedemikian rupa sehingga menjadi miniature kehidupan
realistik tempat mereka mengelola, mengktualisasi dan mematangkan perkembangan
emosinya secara terencana dan periodik melakukannya studi serta memantau profil
pengembangan emosi mahasiswa calon guru.
Bab
3. Kesimpulan
Guru dimasa sekarang hingga
kedepannya akan selalu berhadapan dengan tantangan perkembangan zaman yang kian
berat dan semakin kompleks. Untuk itu para guru harus memiliki dua kompetensi
yaitu karakter guru profesional dan modal kecerdasan emosi yang memadai serta
tangguh. Kedua kompetensi tersebut haris dibekali sejak awal oleh intuisi
penghasil calon guru melalui: (1) penciptaan ekologi kamapus yang beba,
religious, ilmiah, dan orientasi pada kualitas; (2) penciptaan kampus yang
meberdayakan mahasiswa; (3) memfasilitasi terjadinya kolaborasi antar para
calon guru sehingga terjadi baerbagai pengalaman diantara mereka; (4) melibatkan
mahasiswa sejak awal dan secara intens ke dalam pedagogi kasih sayang dalam
pembelajajan; (5) menciptakan lingkungan kampus setra melakukan studi dan
layanan bagi upaya pengenalan dan pengembangan profil kecerdasan emosi
mahasiswa calon guru.
Daftar Pustaka
Dedi Supriadi. 1999. Mengangkat Citra dan Martabat
Guru. Yogyakarta: Adicitra Karya nusa
Robert K Cooper& Ayman Sawaf. 2001. Executive EQ:
kecerdasan emosional dalam kepemimpinan dan organisasi.
Goleman, D. 1998. Emotional Intelligence: Kecerdasan
Emotional, Mengapa EI lebih penting dari IQ.
H.A.R Tilaar. 1999. Bebearpa Agenda Reformasi
Pendidikan Nasional: Dalam Perspektif Abad 21. Magelang: Penerbit Tera
Indonesia
Mohammad Surya. 2003. Percikap Perjuangan Guru.
Semarang: CV Aneka
Moh.Zen. 1999. Faktor – faktor Determinatif Perilaku Menyimpang
di Kalangan Remaja. Jurnal Pendidikan:
Mimbar Pendidikan. No. 2.Tahun XVIII. 1999. Halaman 52-60. Bandung: University Press IKIP Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar